April 27, 2024

Kebebasan Berpikir Ahmad Wahib

literaturcorner.com – Sosoknya dikenal sebagai pemikir pembaharu Islam radikal selevel Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, dan Abdurrahman Wahid, bahkan dalam beberapa aspek lebih radikal dari mereka. Dia sangat menyarankan bagi siapa-siapa yang memiliki akal agar membiarkan otak kebebasan bekerja dengan keterbatasannya. Dengan kata lain, keterbatasan yang hanya otak itu sendiri yang tahu. Sebab dia sadar betul bahwa kekuatan berpikir manusia itu ada batasnya. Maka dengan nalar kritisnya, dia menanyakan siapa yang tahu tentang batasan itu. Tentu, otak itu sendiri. Baginya, kebebasan berpikir bukan hanya hak, tapi kewajiban. Walaupun hasil berpikir itu menjadikan kita tidak percaya akan eksistensi Tuhan, seperti Albert Einstein, Stephen Hawking, Daniel Dennet, Christopher Hitchens, Steven Pinker, dan Michael Shermer, masih jauh lebih baik—mereka adalah tokoh-tokoh atheis berpengaruh—dari pada orang-orang yang tidak pernah salah karena memang tidak pernah berpikir.

Adalah Ahmad Wahib seorang pemuda asal Sampang, Madura. Ia wafat di usia 31 tahun (1942-1973) karena tertabrak motor. Masuk dalam kategori Tokoh Pembaharu Pemikiran dan Gerakan Islam Asia Tenggara.

Menurut Novriantoni Kahar dalam monografnya yang bertajuk Pelintas Batas Pembaruan Islam Indonesia, Ahmad Wahib adalah sosok pelintas batas kemungkinan pembaruan pemikiran Islam, bahkan Islam itu sendiri. Itulah yang membuat dia unik dibandingkan para pemikir pembaharu Islam lainnya di Indonesia. Lanjut, alasan Kahar lainnya, seorang pemikir Marxis Mesir, Raf’at Said yang telah melakukan evaluasi dan studi kritis tentang pembaruan pemikiran Islam di Mesir, berpendapat bahwa berbagai upaya untuk menembus dan melintas batas, bahkan keterbatasan-keterbatasan pembaruan Islam itu, tak jarang karena para pembaharu itu diliputi oleh semacam ilusi tentang kebebasan. Padahal sesungguhnya, upaya-upaya pembaruan yang mereka lakukan hanya diberi kebebasan sebatas apa yang dibolehkan oleh otoritas tertentu untuk dipikirkan.

Di samping itu, Ahmad Wahib sangat anti penyalahgunaan otoritas itu. Otoritsas di luar akal yang hendak membatasi aktivitas dan kreativitas akal. Tapi, apakah benar Tuhan membatasi makhluknya berpikir karena takut terhadap rasio yang diciptakan-Nya sendiri? Wahib pernah menyatakan:
“Kalau betul-betul Islam itu membatasi kebebasan berpikir, sebaiknya saya berpikir lagi tentang anutan saya terhadap Islam ini. Maka hanya ada dua alternatif yaitu menjadi muslim sebagian atau setengah-setengah atau malah menjadi kafir. Namun sampai sekarang saya masih berpendapat bahwa Tuhan tidak membatasi, dan Tuhan akan bangga dengan otak saya yang selalu bertanya, tentang Dia (Wahib, h. 23).”

Dari pemikiran Wahib tersebut, semoga dapat membangunkan kita dari tidur panjang bahwa memang kita tidak pernah optimal menggunakan dan memberikan kesempatan pada akal untuk berkembang. Apakah keterbatasan akal itu akan kita gunakan secara maksimum atau justru kita gunakan setengah-setengah. Pertanyaan ini penting mengingat persoalan di dalam Islam bukan terlalu banyaknya akal bekerja, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Tanpa disertai ketakutan akan dimarahi Tuhan, akal bebas Wahib pernah berkata kalau dalam beberapa hal ajaran Islam itu jelek. Jadi ajaran Tuhan itu dalam beberapa hal jelek dan beberapa ajaran manusia, yaitu manusia-manusia besar, jauh lebih baik. Demikian kondisi ideal akal dan kejujuran intelektual yang didambakannya. Namun itu tidaklah mudah dalam kondisi aktualnya. Pada kenyataanya, dalam praktik berpikir selama ini, kita tidak berpikir bebas lagi. Adanya, orang akan langsung menjudge kita sebagai orang kafir.

Maksudnya, bila menilai sesuatu, kita sudah bertolak dari suatu asumsi bahwa ajaran Islam itu pasti baik dan paham-paham lain berada lebih rendah. Ajaran Islam, menurut Novriantoni Kahar, kita tempatkan pada tempat yang paling baik. Dan apa yang tidak cocok dengannya kita taruh dalam nilai di bawahnya. Karena Islam itu paling baik dan kita ingin menempatkan diri pada kondisi yang paling baik, maka kita selalu mengidentikkan pendapat yang kita anggap benar sebagai pendapat Islam.

Tidak hanya itu, Wahib pun mengkritik dalih orang-orang terpelajar muslim yang bilang bahwa ketika ada umat Islam lemah, maka yang salah adalah orang Islamnya, bukan Islamnya. Baginya, ini adalah satu bentuk dari tidak adanya kebebasan berpikir dan orang takut untuk mempertimbangkan kemungkinan adanya kritik—takut dicap kafir— terhadap Islam.

Dikatakan oleh B.J. Bolland sebagai pengamat Islam asal Belanda terhadapnya bahwa Ahmad Wahib adalah seorang pemikir kritis yang berada di belakang layar kalangan pembaharu seperti Nurcholis Madjid, Harun Nasution, dan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dan Gus Dur pun pernah berkomentar mengenai Wahib bahwa ia tetaplah menunjukkan bahwa dirinya seorang yang mencintai Tuhan yang itu-itu juga, bukan mengingkari apalagi mempromosikan Tuhan rekaanya. Wahib menjadi pemikir bebas dengan tetap punya koneksi spiritual dengan Tuhan lewat caranya sendiri. Hemat penulis, Dia adalah sosok teladan dan contoh bagi anak muda sekarang agar memiliki sikap skeptis dan kritis seeta tidak menelan dengan mentah segala informasi-informasi yang diterima.

Andai catatan hariannya (sekarang menjadi buku berjudul Pergolakan Pemikiran Islam) tak diterbitkan tahun 1981, Wahib mungkin hanya dikenang oleh lingkungan sekitarnya saja.

Note: Tulisan di atas sebelumnya telah dimuat di Omahaksoro.com