April 27, 2024

Pemerintah Perlu Perbaiki Penanganan Data Kebutuhan dan Produksi Pangan Ketimbang Fokus Jokowi Soal “Kritik”

literaturcorner.com Ketua Cabang PMII Jakarta Barat, Muhammad Ulul Azmi mengatakan selama ini ada semacam kepanikan bahwa bangsa Indonesia kekurangan pangan. Hal itu terjadi karena belum akuratnya peta kondisi pangan Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Ketua Cabang PMII Jakarta Barat, Muhammad Ulul Azmi saat menghadiri acara dalam membedah Topik ‘Mengukur Ketahanan Pangan Nasional Bersama Lintas Mahasiswa Jawa Timur’, Senin (08/2).

“Setiap tahun ada kebiasaan impor pangan mulai dari padi 1,1 juta ton, jagung 1 juta ton, kedelai 2,6 juta ton. Kami petakan kembali kondisi pangan kita, ketika pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) memang mendistrupsi distribusi,” ungkapnya.

“Kenapa perlu melihat ini karena selama Pandemi Covid-19, negara produsen pangan tidak mau ekspor, lebih mementingkan kepentingan nasional seperti yang dilakukan oleh negara Vietnam dan India. Makanya ada kekhawatiran krisis pangan,” jelas Azmi.

Ulul Azmi menambahkan, ketika Pandemi Covid-19 muncul, tiba-tiba ada publikasi ancaman kemarau, tetapi hal itu tidak terjadi, malah yang terjadi cuaca ekstrem.

“Beras surplus mestinya tidak perlu impor, cuma persepsinya dibentuk kurang pangan, sehingga setiap tahun rencanakan impor, beberapa rekomendasi itu di akhir tahun terancam kekurangan pangan,” ungkapnya.

Lebih lanjut, dia menambahkan, hal ini perlu menjadi perhatian khusus karena Presiden Jokowi juga memberikan concern mengenai ini.

Baca Juga :Atasi Dampak Corona, Energy Watch Menggandeng PC PMII Jakarta Barat Menyerahkan Bantuan ke Yayasan Uswatun Hasanah

“Kita tidak punya data akurat tentang pangan kita. Kendala bahan baku jagung misalnya. Ketika Pandemi, jawaban dari produsen lokal, ‘kami tak impor lagi, sudah dipenuhi local.’ Ini menarik dan perlu ditelaah kembali. Saya khawatir karena publikasi, karena datanya tidak akurat, ada kepentingan tertentu untuk impor,” tegasnya.

Lanjut dia mencontohkan, dikomoditi kedelai memang Indonesia mengimpor 2,6 juta ton per Desember, karena Indonesia hanya mampu memproduksi 300 ribu ton dan itu sangat kecil.

Sebab sejauh ini belum ada kabar sebuah daerah di Indonesia mengalami rawan pangan.
logikanya, ketika kebutuhan konsumsi pangan tinggi, itu tidak terjadi. Justru terjadi disparitas harga di Aceh dan daerah lain, ada beda harga.

“Jadi bukan pada produksi tapi distribusi, makanya data itu penting. Bank Indonesia punya data pusat informasi harga pangan, hal itu perlu diperkuat basis data,” tuturnya.

“Kita tidak melihat cadangan data yang ada di masyarakat ataupun di pabrik, karena cadangan di bulog 20 persen saja dari total produksi di luar, kita perlu data ini perkuat lagi,” sambung Ulul Azmi.

Edukasi ke Petani

Ulul Azmi menambahkan, petani juga perlu diedukasi agar tidak menjual seluruh panenan gabahnya ke tengkolak agar mempunyai cadangan pangan.

“Ketika petani panen, jangan jual seluruh gabah, separuh jual dan simpan, kalau petani punya cadangan maka akan lebih kuat dan tahan cadangan pangan. Ini nantinya yang akan menjadi kearifan lokal untuk memperkuat ketahanan pangan,” tegasnya.

Sementara Heru Hendratmoko, President Commissioner PT Media Lintas Inti Nusantara mengatakan sektor pangan seharusnya menjadi sektor yang istimewa untuk menopang ekonomi nasional.

“Kita masih ingat kepanikan pemerintah di awal Pandemi Covid-19 adalah kekurangan pangan, karena setiap tahun kita mengimpor pangan berupa beras 1,5 sampai 2 juta ton,” ungkapnya.

Penurunan Area Tanam

“Satu juta hektar hilang karena pembangunan perumahan dan lain-lain. Kerusakan – kerusakan lahan pangan di daerah selama ini minim penanganan oleh Pemda. Jalur distribusi juga masih panjang, ada faktor geografis, dari petani ke pengepul, tengkulak,” ungkap Heru.

Dia juga menilai ada tumpang tindih oleh Badan usaha milik negara (BUMN). Banyak BUMN bersaing untuk komoditas yang sama, meskipun ada mandatori, lebih banyak pada saat sama membukukan keuntungan tiap tahun jadi mirip swasta. Gula diserbu banyak BUMN begitu juga beras Bulog,” tambah Heru.

Jadi sambungnya, ketahanan pangan nasional tidak cuma beras. Selama ini ada tren pengurangan produk pangan berbahan karbohidrat di kawasan perkotaan, tapi hal itu tidak menghilangkan konsumsi masyarakat terhadap beras.

Heru menyarankan agar setiap daerah mengembangkan produk unggulannya agar tercipta ketahanan pangan nasional dengan produk pangan yang beragam.

“Pemerintah sudah punya data, pusat daerah berjalan seiring, masing masing produk unggulan, kembangkan di situ, tidak usah kembangkan yang lain. Jika ini bisa dikerjakan sungguh akan bisa mendukung ketahanan pangan nasional,” imbuhnya.

Dia menegaskan, untuk memacu kemandirian pangan harus dengan memprioritaskan apa yang penting dan yang mendapat dukungan penuh dari berbagai sistem, baik dari sisi perdagangannya dan lain-lain.

Lebih lanjut Ulul Azmi menambahkan, komoditas utama yang harus dibangun untuk membangun nasionalisme adalah dengan menggenjot komoditas unggulan lokal. Maka dengan demikian model pengembangan sawit itu model ideal untuk komdotas lain, dengan lembaga keuangan dan ada grace periode beberapa tahun, itu bisa dilakukan.

“Ketergantungan terhadap terigu itu bisa diganti tidak lagi ke mie saja, gunakan ubi. “Memang harus ubah mindset. Selama ini kan ada yang membangun persepsi seakan pasokan pangan kita kurang terus,” pungkas Azmi