December 3, 2024

Santri dan Wajah Ramah Pesantren yang Rindu “Syawir”

literaturcorner.com – Pesantren itu sebagai penjaga transmisi keilmuan antara Santri dengan Kiai. Peran aktif yang akan dijunjung tinggi dalam mengawal kedamaian yang ramah akan kesederhanaan. Di sisi lain Pesantren sebagai wadah utama dalam mengamalkan ilmu-ilmu keagamaan maupun ilmu sosial dan ilmu umum.

Santri menjadi objek utama dalam mengambil proses semua itu. Santri bukan cuma dituntut untuk belajar terus menerus tentang keagamaan. Di Pesantren, kita akan diajarkan banyak hal, terutama ‘Tata Krama’, sopan santun dan transparansi keilmuan agama.

Wacana Pesantren atau Santri tidak akan pernah habis untuk dibahas itu pun tak akan pernah membosankan apalagi kadaluarsa, begitu juga dengan peran santri yang tidak akan pernah kering dimakan zaman.
Berbicara mengenai perjuangan seorang santri ataupun jihad seorang Santri, dengan mengacu terhadap perbedaan zaman dahulu dan zaman sekarang sangatlah berbeda.

Zaman dahulu jihad Santri dengan cara perang menggunakan senjata tajam dimana nyawa-lah sebagai taruhannya demi membela keutuhan bangsa dan negara. Seperti halnya cerita Kh.Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama Mujtahid perjuangan dalam membela negara kita, beliau dalam memperjuangkan bangsa terutama dalam merebut kemerdekaan Indonesia  sangatlah besar, dimana ketika akhir penjajahan Jepang beliau membuat “Laskar Perjungan Fisabilillah”  beberapa saat kedatangan tentara sekutu Jepang di Surabaya beliau datang bersama dengan beberapa ulama untuk musyawarah yang bertempat di Surabaya, bertepatan tangal 21-22 Oktober 1945. Musyawarah tersebut memutuskan kewajiban umat Islam untuk membela kemerdekaan bangsa Indonesia, yang dikenal dengan nama “Rovulusi Jihad” yang sekarang dinamkaan hari Santri Nasional itulah sebuah perjuangan di zaman dahulu.

Sedangkan perjuanagn Santri di zaman sekarang sangatlah terasa lebih mudah karena tidak ada kata-kata ‘berjuang sampai darah penghabisan’ yang ada hanyalah kita disuruh untuk mencari ilmu yang sebanyak-banyaknya, sebab lingkunganlah yang bisa membuat kita mudah memperolehnya. Dalam artian zaman sekarang sudah 4.0 serba teknologi dan serba instan, itulah yang membuat kita terlalu tercukupi dan lupa bahwa sebuah proses lebih nikmat dari pada sebuah hasil yang instan. Dengan begitu Santri lebih mengandalkan kekuatan 4.0 dari pada kekuatan intelektual sosok ustadz. Maka dari situlah sebabnya sekarang yang menjadikan santri tidak memiliki berkah dari ustadz-nya, karena yang dijadikan pedoman santri adalah jaringan internet bukan kitab Kuning.

Tapi, itu semua biarlah, semoga kita semua tidak tergolong dalam golongan 4.0. Amiin.

Kehidupan di Pesantren Itu indah apabila kita bisa menikmati apa makna kehidupan yang sebenarnya. Pembelajaran di Pesantren akan menjadi bahan utama dalam menentukan kualitas seorang Santri. Menurut Husain Haikal, seorang penulis asal Mesir ada 3 metode pembelajaran yang bisa kita lakukan. Yakni, (1) metedoe ceramah, (2) metode kelompok atau diskusi, dan (3) metode demonstrasi. Ke- satu dan dua metode itulah, menurut saya sangat cocok kita terapkan dalam ruang lingkup Pesantren di zaman sekarang.

Pembelajaran awal yang baik akan berdampak positif bagi para Santri yang masih haus akan keilmuan. Dengan begitulah proses mengajar dan belajar akan selalu menjadi titik tumpu kenikmatan. Artinya Santri bisa lebih intens menerima hal baru yang sudah disampaikan oleh ustadz. Apalagi pembelajaran dengan cara tatap muka langsung. Hati dan naluri akan terasa sangat berbeda jika kita bandingkan cara pembelajaran secara online atau kita lihat di media youtube. Di sisi lain, keberkahan juga akan berbeda nilainya.

Metode ceramah, ada yang diajari dan ada juga yang mengajar saling transfer ilmu A-B, atau B-A. Akan lebih mudah kita terima, ada yang berbicara dan ada juga yang mendengarkan. Tapi, menurut saya sendiri alangkah lebih baiknya metode seperti ini tidak sering dilakukan. Karena realitasnya akan sangat mudah membuat kejenuhan dalam proses pembelajaran.

Metode Kelompok atau diskusi, output dari proses pembelajaran tadi, bisa kita aplikasikan melalui diskusi. metode seperti inilah yang sering kita temukan di pesantren manapun, yang biasa kita sebut dengan “SYAWIR” atau Musyawarah, Halaqoh. Tapi, sayang sekali di Pesantren modern masih jarang kita temukan kegiatan seperti ini. Padahal kegiatan Syawir sendiri sangat perlu kita aplikasikan dan kita laksanakan secara rutinan. Kegiatan Syawir di Pesantren, bisa kita jadikan representatif kemajuan dan kesejahteraan pesantren dalam mengamalkan keilmuan para Kyai. Ustadz dan Santri sebagai sebuah simbol otoritas keagamaan terpenting dalam ruang lingkup pesantren. Artinya, eksistensi tradisi Syawir yang kaitannya dengan dalam perkembangan realita pesantren sangatlah kita butuhkan sebagai tolak ukur kita berpikir yang kritis dan membuahkan kemanfaataan bagi orang lain, di tengah perkembangan zaman sekarang ini.

Apalagi Syawir sendiri di Pesantren saya yakni, Pesantren Ekonomi Darul Uchwah masih belum berjalan, dengan begitu banyak harapan, sebagai santri saya berharap kegiatan syawir bisa kita terapkan.