April 27, 2024

Refleksi Sumpah Pemuda: Nusantara Membutuhkan Anda Wahai Pemuda

“Kami ini bukanlah pembangun candi
kami hanyalah pengangkut bebatuan
Kami adalah angkatan yang musti punah
Agar tumbuh generasi yang lebih sempurna di atas kuburan kami”.

(Henriëtte Roland Holst).

Puisi Roland Holst ini sedikit banyaknya merefleksikan kiprah dan kesucian hati para ksatria yang telah mendahului kita. Dan perlu rasanya sebagai pemuda untuk merefleksikan gerakan kita dan kontribusi kita terhadap masyrakat.

Zaman dahulu Mereka bertarung menyambung nyawa dengan semboyan: “Merdeka atau Mati” –sebuah semboyan yang kini terasa absurd. Itu semuanya mereka lakukan demi kemerdekaan, demi perwujudan kecintaan kepada tanah air, dan demi satu harapan mulia, “agar tumbuh generasi yang lebih sempurna”.

Namun pada kenyataannya saaat ini Generasi demi generasi telah berlalu, tapi harapan itu masih tetap jauh. Mungkin Konstitusi menyebutkan negara ini berbentuk Republik. Anak muda sekarang tentu tidak tahu para pejuang dulu dijuluki kaum “Republikein”. Tapi kata republik kini seolah tak berarti apa-apa, kecuali bahwa Indonesia bukan kerajaan. Resminya, bukan kerajaan memang , akan tetapi sungguh tingkah para pemimpin kerap lebih feodal, kalau tidak lebih zalim, dibandingkan dengan seorang monark di jaman sekarang. Bangsa ini pun kurang menyadari bahwa dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang dalam, yakni respublica atau kemaslahatan bersama dalam arti seluas-luasnya.

Baca Juga : RAYON KHAWARIZMI SUKSES GELAR MAPABA KE-IV DENGAN MENERAPKAN PROTOKOL KESEHATAN DENGAN KETAT

Sedangkan Frasa “cinta tanah air” juga mengalami penyimpangan makna. Konsep “patriotisme”, maknanya seperti terpinggirkan dari kosakata perpolitikan Indonesia, dan sebagai gantinya justru lebih mengemuka konsep “nasionalisme”. Kedua konsep memang sama-sama menggugah sentimen nasional, dan keduanya sama-sama dapat membangkitkan kekuatan dahsyat. Tetapi di balik kesamaan itu ada garis tebal yang memisahkannya. “Patriotisme” menuntut kebebasan warga negara atas dasar penghormatan hak-hak orang lain, sedangkan “nasionalisme” memuja kebesaran bangsa dan menjunjung tinggi apa yang disebut kepribadian nasional. Musuh masing-masing karenanya juga berbeda.

Musuh bagi patriotisme adalah segala jenis tirani, ketidakadilan, dan korupsi, sementara bagi “nasionalisme” yang dimusuhi adalah pencemaran budaya, ketidakutuhan, serta segala sesuatu yang berbau asing.

“Cinta tanah air” dalam arti “patriotisme” itulah yang seharusnya selalu disenandungkan kaum muda, sebagaimana hal itu pernah diperagakan oleh para pejuang kemerdekaan. Tapi jangan salah pahami saya. Menjalankan “tugas patriotik” meminjam istilah Carlo Rosselli, seorang martir antifasis Italia pada Perang Dunia II “tidaklah berarti dan harus selalu berupa tindakan heroic”.

Patriotisme bukanlah “penyerahan” diri kepada tanah air, mengorbankan seluruh hidup bagi Republik. Tindakan yang demikian tidak diperlukan, terkecuali mungkin secara terbatas dalam situasi-situasi genting. Patriotisme hanya menuntut agar Anda menjadi warga negara yang aktif, warga negara yang selalu peduli terhadap kehidupan bersama, peduli terhadap kemaslahatan bersama.

Ini mengimplikasikan bahwa kita harus selalu siaga untuk melibatkan diri, dan bukannya bersikap acuh tak acuh, tatkala ada sesama warga negara yang menjadi korban ketidakadilan atau tindakan diskriminatif, ketika suatu peraturan perundang-undangan yang reaksioner dipersiapkan atau disahkan, atau ketika pasal-pasal konstitusi dilecehkan.

Sebagai penutup tulisan ini saya kutipkan di sini untuk dicamkan oleh kaum muda: “Your Country Needs You” –Negeri Membutuhkan Anda.

Oleh : Rajab Ahirullah