October 14, 2024

Internalisasi Khittah Nahdlatul Ulama dalam Mengurangi Tindak Kekerasan di Sekolah

literaturcorner.com – Pendidikan merupakan aspek penting yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat, pendidikan dapat menyediakan dan memberikan berbagai macam kebutuhan dalam kehidupan masyarakat, baik itu berupa pengetahuan, pengalaman, kreatiftas, kemampuan (skill), perbaikan akhlak, dan segala macam bentuk informasi yang tidak dapat dijangkau di luar dunia pendidikan.

Namun dalam prosesnya, pendidikan mengalami berbagai macam permasalahan. Salah satu permasalahan yang sering terjadi adalah adanya tindak kekerasan di lingkungan sekolah. Tindak kekerasan ini dapat terjadi antara guru terhadap siswa, siswa terhadap gurunya atau kekerasan antar sesama siswa dan bahkan bisa terjadi antara wali siswa terhadap guru.

Melihat fenomena tersebut,maka dirasa penanaman pendidikan anti kekerasan merupakan sebuah keharusan.
Melihat fenomena-fenomena kekerasan di atas, solusi demi tercapainya amanat dan kelancaran proses pendidikan di dalam sekolah menjadi fokus perhatian. Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan di sekolah adalah melalui penanaman nilai keagamaan. Melalui pelajaran Aswaja dan ke-NU-an misalnya, siswa bisa memahami apa itu ukhuwah, khittah Nahdlatul Ulama, manfaatnya dan berbagai aspek keagamaan An-Nahdliyah secara komprehensif. Sehingga melindungi peserta didik dari terpapar paham radikal yang menjadi salah satu penyebab tindak kekerasan. Sebab Aswaja An-Nahdliyah merupakan sistem teologi –paham atau aliran dalam berpikir- yang toleran, inklusif dan moderat. Selain itu, Aswaja An-Nahdliyah yang ditanamkan berperan sebagai pengetahuan, pemahaman dan sikap, merupakan modal penting untuk bersikap kritis dalam menghadapi dinamika sosial yang semakin kompleks.

Secara umum fenomena radikalisme dalam pendidikan lahir dari guru sebagai pembawa paham kepada siswa, orang tua kepada siswa, bahkan dapat juga dari lingkungan masyarakat kepada siswa. Pada akarnya, radikalisme dimulai dari dogma-dogma agama yang dipahami secara sempit –dipahami secara tekstual saja- oleh pemeluknya, sebelum kemudian menjalar kepada aspek pendidikan. Sehingga elemen pendidikan yang terpapar paham ini secara sadar melakukan radikalisme yang menimbulkan teror dan ketakutan kepada elemen lainnya. Akibatnya fungsi dan tugas masing-masing elemen terganggu dan tujuan pendidikan tidak dapat dicapai.

Mengutip dari jurnal Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan karya M. Saekan Muchith yang dikutipnya dari Bali Post (14 Mei 2015) bahwa selama tahun 2010-2014 tercatat gerakan kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan sebanyak 21.689.797 yang makin tahun jumlahnya makin meningkat, baik dialami oleh siswa maupun guru.

Mengutip dari kompas.com (02 Mei 2018) saat memperingati hari Pendidikan Nasional 2018, komisioner KPAI bidang pendidikan Retno Listyarti mengungkapkan data KPAI dalam tri semester pertama tahun 2018. Mayoritas pengaduan yang masuk ke KPAI didominasi kasus kekerasan fisik dan anak sebagai korban sebanyak 72%. Selanjutnya laporan kasus kekerasan psikis 9%, kekerasan finansial atau pemalakan/pemerasan 4%, dan kekerasan seksual 2%.

Dengan data di atas menunjukkan bahwa permasalahan radikalisme sangatlah memprihatinkan di Indonesia. Dengan asumsi semakin berkembangnya zaman dan semakin bertambahnya penduduk kian menjadikan permasalahan -termasuk di dalamnya pendidikan- di negeri ini semakin kompleks, di samping akibat paparan paham radikalisme dan pergeseran budaya etika sopan santun. Sehingga mengubah persepsi keadaan sekolah seakan-akan bukan tempat yang menyenangkan untuk belajar.

Perubahan situasi dan lingkungan suasana pendidikan itu bukan tanpa sebab, melainkan karena kurangnya perhatian dari setiap elemen pendidikan dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan upaya praktis mengeliminir gerakan radikalisme ini. Bisa dimulai dengan internalisasi khittah NU, berupa pembinaan meluruskan cara pandang peserta didik terhadap suatu fenomena. Sehingga peserta didik merasa terawasi dan membiasakan memiliki analisis positif terhadap setiap fenomena dan yang juga menjadikan ciri warga Nahdliyyin yang baik.

Dalam proses internalisasi yang dikaitkan dengan pembinaan peserta didik penulis terangkan ada tiga tahapan yang mewakili proses terjadinya internalisasi, yaitu:

1) Tahap Transformasi Nilai.

Tahap ini merupakan proses yang dilakukan oleh pendidik dalam menginformasikan nilai-nilai yang baik dan kurang baik. Pada tahap ini hanya terjadi komunikasi verbal antara pendidik dan peserta didik. Transformasi nilai ini sifatnya hanya pemindahan pengetahuan dari pendidik ke peserta didik.

2) Tahap Transaksi Nilai.

Pada tahap lanjutan ini dilakukan komunikasi dua arah atau interaksi antara peserta didik dengan pendidik yang bersifat interaksi timbalbalik. Dengan adanya transaksi nilai, pendidik dapat memberikan pengaruh pada peserta didik melalui contoh nilai yang telah dijalankan. Dilain itu peserta didik akan menentukan nilai yang sesuai dengan dirinya.

3) Tahap Transinternalisasi.

Tahap ini jauh lebih mendalam daripada tahap transaksi. Pada tahap ini bukan hanya dilakukan dengan komunikasi verbal, tetapi juga pembentukan sikap mental dan kepribadian. Jadidalam tahap ini pendidik harus betul-betul memperhatikan sikap dan perilaku siswa agar tidak bertentangan dengan apa yang diberikan kepadanya. Hal ini disebabkan adanya kecenderungan peserta didik untuk meniru apa yang menjadi sikap mental dan kepribadian gurunya.

Dalam jurnalnya M. Saekan Muchith mengutip dari bukunya Nur Syam, diceritakan bahwa ada analisis yang cukup menarik, bahwa untuk melahirkan cara pandang yang tepat di kalangan peserta didik perlu disampaikan pembelajaran dari ideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah An-Nahdliyyah yang dicirikan dengan empat khittah atau landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU.

Pertama, tawassuth (tengah-tengah). Doktrin ini mengajarkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk melaksanakan suatu aktivitas, tetapi sebebas apapun manusia masih dibatasi oleh kehendak Tuhan yang maha esa. Artinya dalam meraih keuksesan, manusia wajib melakukan ikhtiyar secara optimal tetapi jangan lupa bahwa Allah swt juga ikut menentukan keberhasilan itu. Setelah berusaha manusia wajib berdoa dan pasrah kepada Allah swt.

Kedua, tawazun (seimbangan). Doktrin ini mengajarkan bahwa manusia dalam memandang suatu realitas tidak boleh bersifat ekstrem baik kekiri atupun ke kanan. Artinya manusia yang baik seyogyanya tidakberlaku berlebihan, baik pada saat senang atau sedang membenci kepada sesuatu. Hal ini didasarkan asumsi bahwa sebaik baik pandangan manusia belum tentu baik menurut Allah SWT. pun sebaliknya.

Ketiga, i’tidal (berdiri tegak/adil). Doktrin ini mengajarkan bahwa dalam hidup manusia wajib berlaku adil, saling memberikan kepercayaan dan kepercayaan yang dibangun haruslah mememberikan kesadaran secara proporsional. Dalam menghadapi berbagai macam permasalahan, seseorang dituntut untuk berbuat adil. Harus berani mengatakan yang haq itu adalah haq, dan yang bathil itu adalah bathil walaupun terhadap orang yang berpangkat, berbeda agama, ras, suku dan bangsanya.

Keempat, tasammuh (toleran). Doktrin ini mengajarkan setiap manusia agar bersikap toleran terhadap perbedaan dan keragaman. Sebab keragaman merupakan realitas yang tidak dapat dihindari, karenanya ia merupakan entitas yanghadir sebagai ajang untuk bersilaturahmi, bersosialisasi, akulturasi, asosiasi, sehingga tercipta sebuah peraudaraan yang utuh. Dari konsep tasamuh inilah kemudian NU merumuskan konsep persaudaraan (ukhuwah).

Jadi, jika dikaitkan dengan perkembangan manusia, proses internalisasi harus berjalan sesuai dengan tugas-tugas perkembangan. Internalisasi merupakan sentral proses perubahan kepribadian yang merupakan dimensi kritis pada perolehan atau perubahan diri manusia, termasuk di dalamnya implikasi respon terhadap makna.

Internalisasi keempat prinsip aswaja yang telah dijelaskan di atas melalui pengajaran, pengenalan dan penanaman nilai pada peserta didik di sekolah perlu dilakukan dalam rangka untuk mengetahui maksud, tujuan dan fungsi suatu nilai tersebut bagi peserta didik, sehingga dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari yang tentu tujuannya adalah mengeliminir fenomena kekerasan dalam dunia pendidikan (sekolah).

.

.

(Baca Juga Ikhtiar Menyembuhkan dari Corona Virus Disease-19)

Hamdan Rofiqul; Mahasiswa UNUSIA Jakarta.