March 29, 2023

Generasi Muda Sebagai Harapan Bangsa

Indonesia merupakan negara yang sangat banyak keanekaragaman budaya. Bahkan negara ini mempunyai beberapa pulau yang sangat elok, di setiap pulau tersebut, banyak suku dan budaya hadir di tengah-tengah mereka.

Membaca Indonesia secara menyeluruh, negara kesatuan, negara dengan populasi hampir 270.054.853 juta jiwa pada tahun 2018, negara berpendudukan terbesar keempat di dunia dan negara yang berpendudukan Muslim terbesar di dunia dengan lebih dari 230 juta jiwa. Tentu saja jumlah ini bisa mencetuskan bibit-bibit unggul generasi muda, yang memiliki potensi besar dalam bidang Sumber Daya Manusia, potensi inilah yang harus lebih dikelola dan dimanfaatkan dalam mendidik generasi yang cerdas, berkualitas, kritis dan kompetitif. Artinya apa, pemerintah lebih peka lagi dalam memproses SDM dengan lebih baik lagi dalam menjalankan program bagi generasi muda di zaman sekarang ini. Sebab dari generasi mudalah yang akan menentukan lebih jayanya, lebih majunya, lebih berkualitasnya negera kita 10 Tahun ke depan.

Kalau bukan dari generai muda yang akan memimpin bangsa ini siapa lagi?, Emak-emak? Bukan! Dan lagi, Pemerintah bukan cuma peka terhadap aspirasi emak-emak di pasar yang ingin diperhatikan, tapi yang lebih penting seharusnya para generasi milenial.

Apalagi di tahun politik seperti ini, generasi milenial akan menjadi penentu dalam pemilu dan pilpres 2024 seharusnya pemerintah lebih berkontribusi lagi dalam mendidik, seperti yang dibilang pengamat politik Vexpop Center Pangi menerangkan bahwa jumlah pemilih pemilu 2019 dari kalangan milenial sekitar 40 persen. Mereka adalah pemilih pemula yang beriusia 17-21 tahun. Memang benar sekarang, Pemerintah seharusnya menjadi fasilitator dalam mengayomi apa yang sekarang menjadi kewajibanya. Tapi, sering kali melampiaskan kelebihannnya dengan penyalahgunaan wewenang, mengabaikan aspirasi jeritan kecil masyarakat. Pelindung untuk kemasyarakatan yang adil dan makmur selalu dinanti-nanti pihak kecil.

Peran pemuda sekarang sangatlah penting untuk menyatukan barisan terdepan dalam mengawal bangsa yang sudah mencukupi SDM, malah bisa dibilang “lebih dari cukup” dibandingakan tetangga bangsa kita sendiri. Kesempatan dapat bisa kita capai untuk memajukan bangsa, lebih menyejahterakan rakyat lagi, mendidik karakter yang masih belum bisa sepenuhnya turut andil dalam mengetahui dinamika pemerintah.

Esensi kebudayaan memang begitu erat dengan orang-orang awam yang sangat penting dalam mengambil keputusan, masih banyak yang perlu diperbaiki. Memang mendidik orang yang sudah kepercayaan di atas ambang batas sudah sulit untuk merubahnya. Tapi, dengan sifat rendah hati dalam memikatnya, dengan lemah lembut, mengarah pada satu konsep untuk merubahnya, yang awalnya susah untuk kita ajak mengetahui problem-problem yang sekarang terjadi yang semuanya itu menjadi hal yang tabu bagi kehidupan orang pinggiran. Dengan adanya para intelektual yang sudah dibebani oleh pemikiran kritis, sudah banyak mengenal orang yang duduk di bangku pemerintah. Bisa menjadi modal utama untuk mendistribusikan perannya dalam mengubah perilaku masyarakat sekarang.

Di samping itu, semua kesadaran sosial dalam memaknai satu kesatuan untuk memahami sumber itu berkompeten atau tidak, bermutu atau tidak, bermanfaat atau tidak itu yang kurang sampai sekarang. Rata-rata individual mengambil sumber informasi tidak dilihat dari mana asalnya yang lebih jelas. Tapi, yang sekarang viral bagi kelompoknya itulah yang dijadikan pedoman kalau “kabar itu sudah benar-benar bisa dipercaya bukan lagi ada hoaks” karakter inilah yang selalu menjadikan mudah percaya pada apa yang masih belum jelas.

Mudahnya sifat kepercayaan kita tergoyang dalam mengambil keputusan. Konstruksi pada kepekaan jiwa nasionalisme untuk menyusun kebijakan yang sudah ada sudah bisa dikatakan masih dibawah rata-rata, tinggal penyaringan informasi itu saja yang masih kurang dalam jiwa individual zaman sekarang.

Bisa dibayangkan saja konteks yang ada sekarang, yang mana orang awam masih belum mengenal sepenuhnya dengan ranah pemerintah sekarang, sampai nama pemimpinnya saja tidak tahu, atau belum tahu kalau tahun ini sudah memasuki tahun politik. Lantas apa yang menjadi problem sekarang? Apa yang salah rakyatnya yang tidak menggunakan SDM (sumber daya alam) dengan baik artinya tidak bisa memanfaatkan teknologi yang semakin canggih?

Dunia teknologi sudah instan semua, tinggal kita klik di google apa yang belum kita ketahui semuanya sudah ada di sana dengan cuma menyediakan data paketan saja. Apa sebabnya masih belum bisa beli data paketannya atau bisa disebut masuk dalam ranah ke perekonomian yang masih di bawah rata-rata?

Keunggulan tersendiri memang dengan zaman sekarang. Tapi kembali lagi pada pemikiran yang masih di bawah kepemilikan hak individual, artinya masyarakat cuma bisa ikut-ikutan saja dengan atasannya atau orang yang lebih paham. Disuruh coblos A sepakat dengan coblos A dengan syarat harus ada imbalanya. Yang mana hal tersebut bisa dibelikan tempe yang ukurannya se-gede tablet.

Kesadaran yang cuma menempatkan kesenangan dalam satu sisi yang masih diambang batas, disamping itu kalau kita lihat dalam realitasnya, masyarakat “Awam” sekarang hanya memikirkan uang, uang dan uang. Dan satu lagi, yang penting kehidupan keluarga bisa tercukupi.

Masalah problem akhir dari apa yang sudah ia pilih itu masih belum terpikirkan di jauh hari, yang pada akhirnya kesesalan akan menelannya.

“Kenapa kemarin saya pilih orang yang cuma bisa memaniskan visi-misinya, tapi cara kerjanya masih terasa pahit?”, kesusahan “Orang yang saya coblos kemarin malah membuat hidup saya susah, yang awalnya waktu kampanye janjinya akan memberikan kesejahteraan lebih dalam mengelola ekonomi dengan SDM yang lebih, tapi apa? Semua ucapannya menjadi hal yang tabu”. Begitulah yang terjadi sekarang.

Dengan demikian, harusnya peran andil para pemuda yang akan menjadi garda terdepan, yang paham akan jeritan masyarakat awam haruslah lebih diasah lagi dalam menyuarakan daya pemikiran intelektual utuk lebih menyerap aspirasi. Setelah itu, semuanya harus kita tampung dalam suatu wadah dengan tujuan keresahan-keresahan yang sekarang terjadi itu bisa lebih diperhatikan lagi oleh pemerintah.

Peran di sini yang seharusnya dilaksanakan oleh Agent of Change yaitu perubahan itu sendiri dalam menurunkan sikap kepekaan pada konteks pemikiran-pemikiran pemimpin kita sekarang, semisal dengan cara Kuliah Kerrja Nyata (KKN). Dalam program universitas lebih ditekankan lagi untuk turun langsung dalam lingkungan orang awam yang masih belum sepenuhnya paham apa problematika pemerintah sekarang. Artinya, mahasiswa yang KKN bukan malah diterjunkan dalam lingkungan yang sudah mewadahi atau malah lingkungan yang orang sekitarnya sudah paham seluk-beluk pemerintahan. Sebab dengan adanya KKN bisa jadi modal kita sebagai agent of change, agent of control untuk lebih berkuasa dalam memantau kondisi apa yang sekarang perlu diperbaiki. Dengan menularkan keilmuan, wawasan yang lebih, hal tersebut bisa menjadi daya tarik tersendiri dalam mengawal masyarakat awam sendiri.

Menularkan rasa optimis, bersama pemerintah kita harus bisa keluar dari situasi apapun dengan cara mendukung semua program yang sudah dijalankan, apalagi kita semua yang sering dipanggil sebagai agent penyambung lidah masyarakat yang sampai sekarang masih saja suaranya sering diabaikan bagi pemerintah. Lebih mutlaknya lagi bangsa kita sering mendengarkan aspirasi dari masyarakat cuma melalui momen-momen yang menurut kita sama sekali membuang-buang waktu saja, seperti demo.

Wadah sebuah organisasi sangat berperan penting dalam mengayomi esensi realitas sekarang dan menjadi bahan utama dalam memperbaiki kehidupan. Background organisasi PMII tepatnya, sifat responsif dalam mengambil keputusan bisa dijadikan menjalankan tiga kosnep yakni, Diskusi, Refleksi, baru setelah itu Aksi.